Pages

Sunday, April 5, 2015

Konsep Washatiah Dalam Qodo [Tugas Dari Dosen]




Konsep Washatiah
Dalam Qodo
(Mata Kuliah Peradilan Qadha)


Oleh:
Teuku Aris Munandar
M. Shofi
M. Albilaluddin al-Banjari







STEI TAZKIA
Periode 2014-2015


Pendahuluan

Apa itu Qadha’?
Menurut ilmu bahasa arti qadha’ antara lain: menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Makna yang terakhir inilah yang digunakan dalam konteks ini.

Sedangkan dari segi istilah ahli fiqih, qadha’ berarti Lembaga Hukum dan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’ disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.

Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah memutuskan perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.

Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.

Apa Unsur-unsur Peradilan dalam Islam?

Ada enam unsur peradilan menurut hukum Islam, yaitu: hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi, mahkum alaihi, mahkum lahu dan sumber hukum (putusan). Hakim (qadhi) adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan dengan sendiri. Nabi sendiri juga pernah mengutus beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.

Hukum ialah putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Adakalanya hal ini dilakukan dengan suatu perkataan dan adakalanya dengan perbuatan, misalnya pembagian secara paksa dan menolak gugatan.

Mahkum bihi adalah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi untuk dipenuhi atas suatu hak. Hak itu adakalanya dipandang sebagai hak yang murni bagi Allah atau bagi hamba. Adakalanya hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah satu lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi dikenal oleh kedua belah pihak.

Unsur berikutnya adalah mahkum alaihi atau si terhukum, yaitu orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum alahi dalam hukum syara’ adalah orang yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang tergugat (atau tertuduh dalam perkara pidana) ataupun bukan. Mahkum alahi ini boleh satu orang atau lebih.

Selanjutnya adalah mahkum lahu (si pemenang perkara), yaitu orang yang menggugat suatu hak atau menuduhkan sesuatu dalam perkara pidana. Hak itu bisa hak murni baginya, ataupun sesuatu yang terdapat padanya dua hak, tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah dia mengajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan perantara wakilnya (kuasa hukumnya). Dalam persidangan, boleh dia sendiri ataupun wakilnya yang menghadiri.

Unsur terakhir dalam peradilan adalah sumber hukum (putusan) dalam suatu perkara. Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk ke dalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.

Apa itu washatiyah?

Belakangan ini, kata-kata “moderat” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi wasathiyyah menjadi kata-kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan sekelompok yang lain. Kata-kata ini biasanya digunakan sebagai antonim bagi fundamentalisme dan absolutisme. Bahkan, secara salah kaprah, wasathiyyah digunakan untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama. Sementara kelompok yang secara konsisten menjalankan ajaran Islam dianggap sebagai tidak moderat (wasathiyyah).
Istilah wasathiyah ini biasanya digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143. Dalam ayat itu disebutkan wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan washatan… (Dan demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang “wasath”…).
Ayat inilah yang seringkali dieskploitasi tidak pada tempatnya sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal, fundamentalis, literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang memojokkan sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kalau ditelusuri secara saksama, kata-kata washatan dalam ayat tersebut memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap di atas. Tulisan ini akan menelusuri makna dari washatan dalam ayat tersebut dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer berdasarkan penelusuran terhadap kitab-kitab tafsir mu‘tabar.



Makna Al-Wasath
Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.”
Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi tempat menyimpan hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata “tengah kota”. Kata ini menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota. (Al-Tahrir wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).
Sementara itu, makna  wasath dalam ayat di atas terdapat beberapa penjelasan.
Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi.
Pertamawasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.
Keduawasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110).
Ketigawasath berarti yang paling baik.
Keempatwasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, Al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah Subhanahu Wata’ala telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya.
Umat islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah Subhanahu Wata’ala telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatanwasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia.” (Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân Jil. I hal. 70).
Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai makna wasath dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat wasath yang disematkan pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah sesuatu yang melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya. Ini merupakan karunia Allah Subhanahu Wata’ala . kepada mereka. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha mengaitkan kata ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya, yaitu “…yahdî man yasyâ’u ilâ shirâth al-mUstadaqîm (…Dialah yang akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus). Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan moderat adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala ke jalan yang lurus (Tafsîr Al-Manâr Jil. II hal 4).
Jalan yang lurus (sirâth al-mUstadaqîm) ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, adalah jalan tengah di antara jalan orang-orang yang dibenci (Yahudi) dan orang-orang yang sesat (Nashrani).
Aktualisasi Makna Al-Wasath
Setelah memperhatikan makna ummh al-wasath yang berarti umat yang secara konsisten perpegang pada petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala . (al-shirâth al-mUstadaqîm), dapat kita fahami bahwa makna dari wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam Al-Quran sendiri, bukan makna yang diberi sifat baru, bukan dari Al-Quran.
Dalam hal ini, Al-Quran telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Ali Muhammad Shallaby dalam Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân cukup ekstensif membahas aspek-aspekwasathiyyah dalam berbagai ajaran Islam.

Pembahasan

Konsep Washatiyah dalam Qadha

      Banyak orang berbicara tentang wasathiyah. Namun adakah kita memahami konsep wasathiyah dari perspektif Islam. Bagaimana Islam melihat wasathiyah itu? Adakah wasathiyah itu bermaksud tengah-tengah, atau adakah wasathiyah itu bermaksud sederhana, atau banyak lagi terjemahannya.

Di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang wasathiyah,

“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu semua, umat yang ‘wasatha’ agar kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.” (Surah Al-Baqarah, 2: 143)

      Para ulama membahas pengertian wasathiyah dalam ayat ini. Antaranya mereka mengambil manfaat dari tafsiran Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri terhadap wasathiyah. Apabila Nabi menerjemahkan perkataan “wasatha”, sabda Baginda di dalam hadis riwayat Al-Bukhari mengatakan bahwa “wasath itu adalah adil”.

      Apabila Nabi mengatakan bahawa wasathiyah itu maksudnya adil, para ahli ilmu membahaskan apa yang dimaksudkan dengan adil.

Adil mempunyai banyak makna, diantaranya,

“Memberikan hak kepada orang yang berhak.”

      Rakyat Indonesia ada haknya, maka kita tunaikan hak mereka. Rakyat Cina dan rakyat India ada hak mereka, maka kita tunaikan hak mereka. Orang Islam ada haknya, kita tunaikan hak orang Islam. Rakyat ada hak, kita tunaikan hak rakyat. Pemimpin juga ada haknya, maka kita tunaikan hak pemimpin itu. Maka itu yang dinamakan adil.

Maksud adil yang lain menurut para ulama,

“Meletakkan sesuatu kena pada tempatnya.”

      Kita ambil contoh mudah, kalau kita beli baju untuk anak lelaki, gak mungkin kita beli baju persis sama untuk anak perempuan. Kalau kita belikan kopiah untuk anak lelaki, gak mungkin kita belikan yang sama untuk anak perempuan. Itu tidak adil, itu zalim sebab kita tidak meletakkan sesuatu kena pada tempatnya.

      Sebab itu adil tidak boleh diterjemah sebagai sama rata, saksama, atau sama banyak. Jadi apabila dikatakan wasathiyah, Nabi mengatakan adalah adil, yaitu memberikan hak kepada orang yang berhak ataupun meletakkan sesuatu kena pada tempatnya.
      Maka apabila kita menunaikan hak kepada orang yang berhak dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, para ulama mengatakan bahwa pada ketika itu tindakan kita adalah tindakan yang baik dan terpilih.

Dari Akidah sampai Poligami
Shallaby ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang murni dan bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah adalah ajaran yang memang layak disebut wasath dengan berbagai pengertiannya.
Mengambil salah satu bahasan Shallaby dalam penelitiannya itu, kita ambil contoh mengenai masalah poligami yang sering menjadi sasaran tuduhan ketidakadilan ajaran Islam. Dalam kesan yang muncul dari mereka yang mendapuk diri sebagai Muslim yang berpandangan moderat, poligami  justru dianggap sebagai sesuatu yang semestinya “diharamkan” karena dianggap tidak adil kepada wanita.
Pandangan seperti ini jelas sudah bertentangan dengan ijmâ’ para ulama mujtahidîn sejak empat abad lalu yang bersepakat akan kehalalan poligami.
Kehalalan poligami dalam Islam yang disepakati para ulama itu justru memperlihatkan bagaimana Islam telah berlaku adil, moderat, dan wasath bila dibandingkan dengan ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang di dunia hingga saat ini.
Dalam kepercayaan dan tradisi besar dunia terdapat dua ekstrim yang sama-sama berlebihan. Ekstrim pertama membolehkan laki-laki menikahi banyak wanita tanpa batas. Wanita diletakkan hanya sebagai hamba dan pemuas bagi laki-laki. Ketentuan ini dikenal dalam tradisi China Kuno, India Kuno, Persia Kuno, Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah. Dalam beberapa tradisi seperti China Kuno dan India Kuno, bahkan ada kepercayaan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri untuk menyatakan penghambaannya kepada laki-laki yang dinikahi. Dalam hal ini jelas sekali, posisi wanita menjadi sangat terhina. Tidak ada penghormatan sama sekali atas mereka.
Sementara itu, pada titik ekstrim yang lain akan ditemukan aturan dalam agama Kristen yang telah dipengaruhi kepercayaan Pagan masyakarat Eropa yang mengharamkan sama sekali laki-laki menikahi lebih dari satu istri.
Pada titik ekstrim ini, kelihatannya ada pemihakan yang adil terhadap wanita. Akan tetapi jutsru di sinilah permasalahan bermula.
Dalam ketentuan Islam poligami dibolehkan namun bukan tanpa aturan. Ia diperbolehkan hanya maksimal dengan empat wanita. Selain itu, dipersyaratkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil. Bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka laki-laki sebaiknya cukup mengambil satu istri atau budaknya. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 3).
Ketentuan Islam ini adalah ketentuan yang moderat dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas. Apabila ketentuan poligami tidak dibatasi seperti yang terjadi dalam berbagai tradisi, posisi perempuan menjadi sangat termarjinalkan dan terhinakan. Dampak sosial dari sana sungguh sangat besar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah poligami tanpa aturan yang terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarahnya. Lebih dari itu, mengambil istri dalam jumlah yang sangat banyak pasti akan membuat laki-laki tidak akan memenuhi hak-hak semua istrinya secara adil.
Sementara apabila poligami diharamkan akan banyak persoalan-persoalan mendesak yang tidak bisa diatasi kecuali dengan cara-cara poligami. Misalnya ada laki-laki yang secara fisik dan finansial mampu dan butuh terhadap poligami karena berbagai alasan. Seandainya tidak ada kelonggaran poligami, maka masalah seperti ini tidak akan terselesaikan. Sangat mungkin inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik perzinahan terselubung. Fenomena pejabat yang punya istri simpanan, perselingkuhan, pelacuran, kawin kontrak, dan semisalnya adalah salah efek yang tidak bisa dihindarkan dari tidak diperbolehkannya laki-laki berpoligami.
Dalam Islam, apabila kebutuhan memang mendesak, maka poligami diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Akan tetapi, Islam amat menyadari bahwa tidak setiap laki-laki siap dan butuh istri lebih dari satu. Oleh sebab itu, dalam kasus ini, tidak ada celaan bagi mereka untuk hanya mengambil satu istri saja. Di sinilah letak keadilan dan wasathiyyah-nya ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran lain. (Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân, hal. 512-525).


Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan contoh singkat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala  melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Semakin kita taat dan tunduk pada ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka kita sebetulnya semakin moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah membawa karakternya yang moderat sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang moderat ini secara konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagai ummatan washathan (umat moderat). Wallâhu A’lam. 

M. Albilaluddin al-Banjari
Presiden Mahasiswa STEI Tazkia 2014-2015
Hp: 0858-558-321-66, 
Email: bilalgrups@gmail.com
Twitter:  @malbilaluddin1 
IG: Bilal Grup, BBM: 5281cb04, 
ID Youtobe :  M. AlbilaluddinID 



No comments:

Post a Comment