Pages

Peranan Negara Dalam Perekonomian [Perspektif Islam] #Ekonomi #Copas

Friday, November 6, 2015
Oleh : Agustianto
Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam, Dosen Pascasarjana UI, Dosen Program S2 Magister Ekonomi IEF Trisakti dan Magister Managemen Bisnis dan Keuangan Islam Univ  Paramadina.
Belakangan ini, telaah tentang peranan negara dalam kehidupan ekonomi keuangan semakin banyak mendapat perhatian, terutama setelah munculnya krisis demi krisis baik di Amerika Serikat, Eropa maupun wilayah dunia lainnya. Dalam analisis terapi penyembuhan krisis tersebut, teori Keynes banyak diangkat ke permukaan. Majalah Newsweek pernah memasang besar-besar tulisan We are all Keynesians dalam sampul depannya. Sejumlah pakar ekonomi (konvensional) Indonesia juga ikut-ikutan meneriakkan kembali pentingnya revitalisasi  mazhab Keynesians. Mereka mengklaim, bahwa semua negara saat ini kembali melirik Keynes setelah sebelumnya berbondong-bondong  mencampakkan Keynes untuk berselingkuh dengan kapitalisme neoliberal sejak tahun 1970-an. Padahal seribu tahun sebelum Keynes, ratusan ulama dan pakar ekonomi Islam sudah merumuskan pentingnya peran negara dalam perekonomian. Tapi sayangnya para pakar ekonomi Indonesia tidak punya akses keilmuan terhadap ilmu ekonomi Islam.


Menurut ilmu ekonomi Islam, negara mempunyai peran penting dalam perekonomian. Para ulama dan pakar  ekonomi Islam sepanjang sejarah telah membahas peran penting negara dalam perekonomian, Menurut  para ulama,  dalam ekonomi Islam, negara memiliki kekuasaan yang paling luas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, dengan syarat bahwa tugas itu dilaksanakan dengan cara demokratis dan adil, dimana segala keputusan diambil sesudah bermusyawarah secukupnya dengan wakil-wakil rakyat yang sebenarnya. Meskipun Islam memberikan peran kepada negara secara luas, hal itu tidak berarti bahwa konsep ekonomi Islam mengabaikan kemerdekaan individu.
Alquran sebagai sumber pertama ajaran Islam, menjelaskan tentang peranan negara dalam mekanisme pasar dan dalam perekonomian secara umum.
Dalam konteks ini Al-Mubarak dalam buku Nizaham al-Islam al-Iqtishadi, mengutip ayat Alquran surah Al-Hadid ayat 25 :
Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-Rasul kami dengan membawa bukti–bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka menggunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agamanya) dan Rasul Rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya, Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Mengomentari ayat tersebut, Muhammad Al-Mubarak mengatakan, bahwa penyebutan keadilan dan besi secara bersamaan dalam ayat ini menunjukkan pentingnya penegakan keadilan dengan kekuatan (kekuasaan), yang dalam ayat tersebut disebutkan enggan besi. Dengan demikian, negara hendaknya menggunakan kekuatan, jika dibutuhkan, untuk mewujudkan keadilan dan mencegah kezaliman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis20.
Dr.Abdul Sattar dalam kitab Al-Muamalah fil Islam, merumuskan kandungan ayat di atas sbb :

n  Pertama, bahwa tujuan utama risalah ilahiyah (dalam kitab & syari’ah) adalah menegakkan aturan (nizham) yang adil dalam muamalah di antara manusia
n  Kedua, Menegakkan aturan syariah yang adil mesti dengan peranan negara (kekuasaan/kekuatan (besi), setelah dakwah dan tabligh/komunikasi dilaksanakan (hlm.17)

Para penguasa pada periode Islam yang pertama sangat menyadari tanggung jawab mereka selaku Kepala Negara terhadap perekonomian, terutama terhadap  pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa, memerintah negara Islam setelah wafatnya Nabi SAW, telah menganggap pemenuhan kebutuhan dasar, sebagai salah satu tujuan dasar dari kebajikan negara11.
Dalam periode Abu Bakar (Khalifah pertama), ada segolongan penduduk yang enggan membayar zakat. Penolakan membayar zakat dianggap sebagai penentangan terhadap negara, sehingga tindakan bersenjata dilakukan untuk memaksa mereka membayar zakat.
Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggung jawab ini, sehingga ia mengumumkan, “jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi Sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggung jawaban saya terhadap hal itu di akhirat12. Pernyataan ini mengandung makna yang dalam, betapa seorang penguasa memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap rakyatnya. Jangankan manusia yang tidak bisa makan karena busung lapar, misalnya, seekor hewan saja yang mati karena kelalaian penguasa, menjadi tanggung jawab penguasa.
Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ada beberapa contoh pada periode ini, dimana pada daerah-daerah Daulah Islamiyah, tidak ditemukan seorangpun warga negara yang fakir miskin, karena mendapat perhatian serius dari negara13.
Para ahli fikih Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan kewajiban negara dan masyarakat, sehingga tak seorangpun dijumpai yang tak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Para  ahli fikih Islam berpandangan bahwa perlindungan hukum harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuan, sehingga setiap warga negara bisa melapor ke pengadilan, agar mendapatkan jaminan pelaksanaan atas prinsip tersebut14.

Peranan Negara
Dalam politik ekonomi Islam, negara bertugas dan bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi, mencegah terjadinya setiap kezhaliman serta menindak para pelanggar hukum di bidang ekonomi. Usaha mewujudkan itu, dapat dilakukan dengan kekuatan aparat pemerintah (tangan besi), apabila kondisi membutuhkannya sebagaimana yang dijabarkan di atas berdasarkan ayat Alquran Al-Hadid ayat 25.
Dalam pembahasannya, mengenai peran negara dalam ekonomi, Muhammad Al Mubarak, dalam buku Nizam al-Islam, menyatakan bahwa negara merupakan salah satu dari tiga sokoguru sistem ekonomi Islam bersama-sama dengan iman (moral) dan prinsip-prinsip organisasi ekonomi.
Fungsi negara adalah untuk menegakkan keadilan ekonomi, pasar dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dengan mengatur fasilitas–fasilitas umum dan sistem jaminan sosial.3
Aswaf Ali, dalam disertasi doktornya, Political Economy of the Islamic State,menyimpulkan bahwa filsafat kemasyarakatan Islam menggambarkan suatu masyarakat ekonomi yang didasarkan pada peranan negara yang luas di dalam bidang perekonomian, perdagangan dan keuangan.4
Sementara itu, Dr. Fazlur Rahman mengatakan bahwa dalam kepentingan dasar dari keadilan sosial ekonomi, negara harus mencampuri pribadi warga negara, sejauh keadilan sosial ekonomi menuntutnya.5
Prof. Dr. M. Umer Chapra, juga berpandangan bahwa peranan ekonomi yang aktif oleh negara merupakan segi yang tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi Islam. Selanjutnya Chapra menyatakan bahwa penyediaan modal untuk kepentingan sosial serta penataan jaminan sosial merupakan kewajiban penting negara. Negara juga bertanggung jawab untuk menciptakan kemantapan (stabilitas) nilai mata uang, selain usaha penghapusan kemiskinan dan penciptaan kondisi yang sehat untuk pemberian kesempatan kerja yang penuh (full employment) serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi6. Dal hal 46 Chapra
Selanjutnya ia menekankan bahwa tata cara untuk mencapai semua itu ialah lewat pendidikan, bukan paksaan. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi, tak seorangpun membantah bahwa selama bisa diatasi dengan pendidikan, maka paksaan hendaklah dihindarkan. Tapi kita tak boleh ragu-ragu, bahwa tujuan Islam harus dapat dicapai. Karena itu, paksaan dibolehkan, bila usaha lewat pendidikan mengalami kegagalan7.
Di antara tindakan paksaan yang dibolehkan, guna melindungi masyarakat umum adalah pembatasan-pembatasan kebebasan pribadi dalam bertindak, seperti pengaturan kegiatan bisnis, penentuan harga barang-barang tertentu, perpajakan, pajak progressif, nasionalisasi, pembatasan pemilikan, penetapan denda-denda keuangan. Demikian pula isi Undang-undang yang berkaitan dengan monopoli, hak-hak konsumen, hak cipta, dsb.
Untuk pelaksanaan tujuan ini, menjadi kewajiban negara untuk menyediakan sumber-sumber daya, khususnya sumber-sumber yang langka, atau intervensi pasar ketika kekuatan pasar berjalan tak terkendali.



Sementara itu menurut Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ashshiddiqi, peranan negara mencakup empat macam.
  1. Menjamin tegaknya etika ekonomi dan bisnis Islam dari setiap individu melalui pendidikan, dan bila perlu melalui paksaan.
  2. Menciptakan iklim yang sehat dalam mekanisme pasar.
  3. Mengambil langkah-langkah positif di bidang produksi dan pembentukan modal, guna mempercepat pertumbuhan dan menjamin keadilan sosial.
  4. Perbaikan penyediaan sumber-sumber daya dan distribusi pendapatan yang adil, baik dengan bimbingan, pengaturan, maupun campur tangan langsung dalam proses penyediaan sumber daya itu dan distribusi pendapatan.

Jaminan Sosial
Jaminan social menjadi rukun ekonomi Islam. Tanggung jawab langsung negara tentang jaminan sosial, didasarkan atas hak umum seluruh rakyat terhadap sumber-sumber alam. Oleh karena adanya warga negara yang tak mampu bekerja , atau cacat atau tua renta, mereka juga mempunyai hak yang sama terhadap sumber-sumber alam tersebut. Sistem jaminan sosial ini diatur di zaman Nabi SAW dan berfungsi secara efektif pada periode Islam pertama dan pda periode sesudahnya10.

Para ulama fiqh  secara rinci   membahas kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi seluruh warga negara. Alqur’an dan Sunnah telah berulang kali menekankan pemberian makanan kepada mereka yang sedang kelaparan. Demikian pula pemenuhan kebutuhan gizi bagi setiap orang, harus diperhatikan untuk meringankan penderitaan kaum miskin. Kebutuhan dasar lainnya yang menempati prioritas tinggi adalah pakaian dan perumahan.
Selain makanan, pakaian dan perumahan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, masih terdapat kebutuhan lain yang harus diperhatikan negara, seperti kebutuhan memelihara agama (ad-din), akal, dan keturunan. Kebutuhan memelihara akal diwujudkan melalui pembangunan pendidikan dan sarana pendidikan, Kebutuhan memelihara jiwa diwujudkan dengan pendirian rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang memadai bagi rakyat, termasuk alokasi dana untuk keamanan, kepolisian, militer dan aparat terkait. Kebutuhan keturunan diwujudkan dengan dorongan nikah dan larangan zina.
Untuk mewujudkan berbagai kebutuhan dasar manusia, negara membuat regulasi di bidang pidana, perdata, keuangan dan sebagainya dalam bentuk perundang-undangan dan peraturan. Menurut Baqir al-Sadr, selain melaksanakan perundangan yang relevan, negara berkewajiban memberikan jaminan sosial, menjamin pemenuhan kebutuhan bagi setiap warga negara9.

Baqir Al-Sadr menunjukkan bahwa pembentukan perbendaharan negara merupakan sarana untuk menunaikan tanggung jawab ini. Berkaitan dengan distribusi pendapatan ia menekankan bahwa hal itu tidak berkaitan dengan keharusan kesamaan pendapatan, tapi standar hidup tertentu, yakni teratasinya kemiskinan absolute. Kemiskinan absolute inilah yang bisa diberantas. Sedangkan kemiskinan relatif tak mungkin diwujudkan, sekalipun dalam ekonomi sosialisme. Jadi menurutnya, dalam Islam dimungkinkan ada perbedaan-perbedaan yang tidak menyolok antara satu individu dengan individu lain

Menurut Imam Nawawi, adalah kewajiban negara untuk memberi makan mereka yang lapar dan memberi pakaian kepada mereka yang tidak punya cukup pakaian. Ibnu Khaldun juga menegaskan biaya yang harus ditanggung negara untuk menjamin kehidupan masyarakat miskin, penuhilah kebutuhan orang miskin, anak yatim dan para janda. Berilah upah kepada orang buta, orang yang mengajarkan Al-Quran atau yang menghafalnya. Dan selama tidak memberatkan kas negara didirikan rumah sakit di tengah masyarakat muslim disertai dengan orang-orang yang sabar merawatnya dan dokter-dokter yang mengobatinya25.

Selain tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok, negara punya fungsi penting untuk membuat perundang-undangan baru yang mengatur dan memberikan bimbingan dalam kehidupan ekonomi.

Arus Produksi dan Distribusi
Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang menganut faham lassez faire. Dalam Islam, pemerintah harus mengatur arus produksi dan distribusi, khusunya mencegah terjadinya kecendrungan dan praktek monopolistik.
Ada beberapa prioritas langkah yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan distributif tersebut.
  1. Sistem zakat adan kharaj sangat efektif untuk mengalihkan surplus kekayaan dari orang kaya kepada orang-orang miskin.
  2. Negara harus mengamati dan mengatur pemerataan distribusi sumber daya alam. Ekonomi Islam tidak membenarkan terjadinya penumpukan asset sumber daya alam pada sekelompok orang tertentu saja. Penguasaan sumber daya alam yang dikuasai swasta harus dibatasi, misalnya, lima ribu hektar sawit.
  3. Jasa layanan masyarakat yang menghasilkan keuntungan, seperti kereta api, pos dan telegraf, listrik, air dan gas, harus dikelola negara.
  4. Jasa layanan masyarakat yang tidak menghasilkan , seperti jalan raya, tempat umum, tempat parkir dan sebagainya, perlu disubsidi pemerintah dengan menggalakkan sumbangan para donatur.

Pengawasan  pasar dan kesempatan kerja
Adalah tugas negara untuk menerapkan sistem hisbah, yaitu pengecekan langsung atas ukuran dan berat, kendali mutu, dan standarisasi. Juga tugas negara untuk melarang praktek spekulasi dan monopoli. Cara yang terbaik adalah dengan menyediakan barang murah di pasar, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khattab. Dengan cara demikian, harga dapat kembali normal.

Negara dalam pandangan Islam, berperan menyediakan kesempatan pelatihan dan menciptakan peluang pekerjaan. Negara membuat program membantu pengangguran. Negara berperan memberdayakan orang miskin, anak yatim, janda, manula, orang cacat dan seluruh rakyat yang tak memiliki kemampuan untuk memenuhi keperluannya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang diberikan Allah amanah menjadi penguasa untuk mengurus urusan kaum muslimin, namun ia acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak memperdulikan kebutuhannya.
Dalam hadits lain Rasul SAW bersabda, “Penguasa negara pelindung bagi orang yang tak memiliki pelindung”.
Sehubungan dengan itulah, Dr. Mustaq Ahamd, dalam buku Business Ethics in Islam, menulis, “Setiap individu bisa menuntut hak dari masyarakat (negara) dimana ia hidup untuk memperoleh pekerjaan. Jadi, tugas utama pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja bagi setiap orang yang mampu bekerja dan orang yang mau untuk bekerja15.
Kemudian, negara juga hendaknya mengatur untuk memberikan semua kemudahan dan bantuan bagi para pekerja yang ditimpa bencana serta memberikan kepada mereka sebuah kekuatan tawar (barganing power), jika tidak demikian, dirinya terpaksa untuk menjual tenaganya dengan harga yang tidak wajar.
Dalam kehidupan ekonomi, Islam juga menekankan implementasi amar ma’ruf nahi munkar. Tugas ini, menurut Mustaq Ahmad, hendaknya dilakukan aparat pemerintah. Rasulullah selalu melakukan pengawasan dan investigasi terhadap aktivitas yang dilakukan oleh para Gubernur dan pejabat-pejabat yang lain. Jika dia menemukan penyimpangan secara nyata, maka ia menggantinya dengan orang yang lebih baik16.
Rasul juga selalu mengadakan pengawasan terhadap orang-orang yang mengumpulkan zakat (amil zakat) dana dia selalu mengecek jumlah zakat yang terkumpul.
Dengan adanya perintah Al-Qur’an dan praktek yang dijalankan oleh Rasulullah maka jelaslah bahwasanya sebuah negara dalam Islam terikat kewajiban untuk menjalankan dan mempraktekkan institusi hisbah ini. Penentuan orang-orang yang melakukakan hisbah, menurut Nizham Al-Muluk dilakukan oleh kepala negara. Kewajiban seorang muhtasib adalah :”untuk mengecek dan memeriksa skala dan harga barang dan untuk melihat bisnis  dan perdagangan apakah telah dilakukan dengan cara-cara yang benar ataupun tidak. Sejarah memaparkan satu bukti yang sangat jelas bahwasanya untuk melakukan pengawasan yang ketat ini negara Islam yang ada selalu memperhatikan institusi hisbah.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul Arab Administration, Dr. Husain mengatakan :“Sejak awal berdirinya negara Islam, perhatian yang sedemikian besar telah diberikan oleh pihak pemerintah untuk melihat kondisi dagangan dan para pedagang apakah dalam melakukan perdangan mereka telah menjalankan aturan seperti yang diajarkan Islam ataupun tidak. Dari semua khalifah Rasyidin, Saidina Ali adalah yang sangat konsern dalam masalah ini. Ia akan keliling ke pasar-pasar di Kufah, dengan membawa cimeti. Sebelumnya praktik ini banyak dilakukan oleh Umar bin Khattab”.
Khalifah itu  berjalan ke pasar-pasar untuk mengontrol apakah takaran dan timbangan dalam bisnis telah dilakukan dengan sebaik-baiknya dan apakah ada orang yang melakukan kecurangan. Pada masa pemerintahan Bani Ummayyah, beberapa polisi pengaman diperintahkan untuk mengawasi masalah timbangan dan takaran itu17.
Termasuk tugas negara dalam ekonomi adalah memerangai praktek riba yang berkembang di masyarakat. Penguasa bertanggung jawab untuk memberikan solusi mengatasi praktik-praktik   ribawi tersebut. Sayyid Qutub menyebutkan, bahwa pemerintah harus memerangi orang yang melakukan riba, sekalipun mereka menyatakan diri sebagai muslim, sebagaimana Abu Bakar memerangi orang yang enggan membayar zakat, sekalipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengerjakan shalat18.
Negara juga bertanggung jawab untuk memberantas segala bentuk monopoli yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, mencegah penimpunan (spekulasi) dan pasar gelap, dan semua  praktek-praktek jahat dalam bisnis. Dalam situasi yang sangat mendesak, misalnya kelangkaan bahan-bahan pokok, negara hendaknya mengambil inisiatif untuk mengatur pengiriman-pengiriman barang dan kebutuhan pokok rakyat sehingga harga lebih murah. Umar bin Khattab, mengambil inisiatif untuk melakukan intervensi pasar dengan cara mensupply gandum dari Mesir ketika terjadi kelaparan yang dahsyat di Mesir19.
Selanjutnya, negara atau pemerintah tidak boleh membiarkan tanah-tanah kosong terlantar dan uang negara bocor dan terboroskan tanpa diinvestasikan dalam perdagangan dan bisnis. Umar bin Khattab adalah khalifah yang sangat hati-hati dalam masalah ini.
Di dalam bidang fiscal, negara-negara di zaman khulafaur Rasyidin, Umayyah dan Abbasiyah, telah menerapkan pengutipan pajak selain zakat. Abu Yusuf mengatakan bahwa pajak itu dibolehkan asal saja dalam batasan yang wajar dan demi kepentingan negara21.

Kita telah memaparkan beberapa pendapat pakar ekonomi Islam mengenai kebolehan campur tangan negara dalam kegiatan ekonomi. Tetapi ada beberapa penulis seperti Muhammad Abu Su’ud yang beranggapan bahwa perluasan peranan negara dalam ekonomi di zaman modern sebagai sesuatu yang tidak sehat dan dia menginginkan agar ekonomi Islam dapat mengawasi kecendrungan ini8.
Pendapat Muhammad Abu Su’ud di satu sisi mengandung kebenaran, yaitu ketika negara campur tangan dengan tujuan-tujuan kepentingan oknum penguasa, sehingga terjadi kezaliman terhadap pelaku ekonomi pasar. Dalam kondisi ini campur tangan pemerintah dilarang. Jadi pendapat M Abu Su’ud bersifat kondisional dimana ketika penguasa bertindak sebagai dictator dan predator, dan berlaku tidak adil, maka campur tangan Negara dilarang, sedangkan jika pemerintah dijalankan berdasarkan keadilan, syura dan kemaslahatan rakyat, maka campur tangan pemerintah diharuskan.

Argumen yang menginginkan dikuranginya peran negara dibuat berdasarkan pengalaman buruk negara-negara berkembang, termasuk di zaman Adam Smith hidup. Negara yang begitu banyak campur tangan menghasilkan begitu banyak regulasi, berkembangnya ekonomi rente, eksplotasi, monopoli kroni penguasa, dan bentuk-bentuk kolusi dan korupsi lainnya. Akibatnya sumber daya masyarakat, akan terserap oleh birokrasi. Lama kelamaan, birokrasi dan birokrat, menjadi kekuatan ekonomi sendiri, jika masuk dalam dunia bisnis dan menyingkirkan kekuatan ekonomi masyarakat. Negara menjadi predator Patronase merupakan salah satu bentuk alokasi sumber daya yang tidak adil, karena dibentuk dengan pertimbangan perkoncoan dan dukungan politik.
Dengan dikuranginya campur tangan negara dalam ekonomi, birokrasi pemerintah akan lebih koheren dan rasional. Dipihak lain, birokrat tidak mudah dipenetrasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dalam masyarakat. Masyarakat secara umum, akan lebih dinamis dan produktif.
Namun, perkembangan-perkembangan pemikiran tentang peran negara, mempertanyakan efektivitas birokrasi seperti itu dalam mendorong kemajuan ekonomi. Birokrasi seperti itu, tidak lagi diberi nama otonom (yang berkonotasi positif), melainkan sebuah birokrasi yang terisolasi. Disebut terisolasi karena ia terpisah dari dinamika masyarakat. Birokrasi tidak efektif mendorong kemajuan ekonom karena tidak dapat mengenali kondisi-kondisi ekonomi yang ada. Juga karena tidak berhasil menggerakkan kelompok-kelompok tersebut ke dalam suatu tujuan kolektif yang ‘ammah (masyarakat public).

Pemikiran baru bahwa birokrasi merupakan penyangga kemajuan ekonomi itu didasarkan pada kenyataan-kenyataan di negara-negara yang perekonomiannya sudah maju di Asia Timur, seperti Jepang, Taiwan dan Korea.

Dengan demikian sistem kapitalisme yang menganut doktrin Laissez faire, yang dikemukakan Adam Smith, tidak lagi dipraktekkan secara murni. Demikian pula teori the invisible hand tidak lagi berlaku secara actual. Demikian menurut Dr. Winardi, SE dalam buku kapitalisme  versus Sosialisme. Dengan berlangsungnya waktu, perekonomian seperti di Amerika Serikat menjadi makin kompleks dan peranan pemerintah di sana makin luas, peran pemerintah telah nyata dalam beraneka ragam perundang-undangan, seperti tarif-tarif protektif untuk mengurangi impor, subsidi-subsidi untuk merangsang produksi.1 Peranan pemerintah USA makin nyata terlihat pada kasus bail out sejumlah lembaga keuangan oleh negara. Dalam kasus ini USA telah keluar dari penjara faham neoliberalisme. Pemerintah di negara-negara Barat mulai memainkan peranan penting sebagai protektor dan regulator dalam perekonomian. Dalam peranan demikian, pemerintah telah memajukan kepentingan pertanian, para pekerja (buruh)  dan konsumen. Pemerintah telah mengendalikan persaingan pada industri-industri yang diawasi, seperti transportasi domestik, komunikasi dan pembangkit tenaga listrik.
Pemerintah telah menerima tanggung jawab untuk mengembangkan produksi total perekonomian yang bersangkutan dan pengeluaran, guna mencapai sasaran-sasaran jangka panjang berupa pertumbuhan ekonomi dan  kesempatan kerja penuh. Pemerintah telah berkembang menjadi pensuplai aneka macam barang dan jasa.
Dengan demikian, ekonomi kapitalisme Barat telah mulai mengadopsi konsep ekonomi Islam mengenai peran negara, meskipun sebagian keburukan-keburukan kapitalisme masih melekat secara kuat di berbagai negara, seperti filsafat  sekularisme-maretialisme, individualisme, sistem moneter (uang dan bank), pertumbuhan ekonomi, darwinisme sosial2, dsb.

Selanjutnya, menurut Muhammad Al-Ghazali, negara memiliki hak untuk membatasi kemerdekaan individu dalam rangka melindungi rakyat banyak dari bahaya. Hak intervensi negara dalam masalah kekayaan seseorang ini hendaknya dilakukan dalam batas yang dibutuhkan oleh masyarakat dan hendaknya dilakukan sesuai dengan standar agama dan kepentingan masyarakat yang bersangkutan, bukan vested interest oknum penguasa atau kroni-kroninya22.
Menurut Ibu Taymiyah, negara harus melakukan intervensi pasar jika sebagian rakyat membutuhkan komoditas tertentu, sedangkan yang lain memiliki kelebihan komoditas yang sama, maka negara berhak untuk memaksa orang yang memiliki kelebihan itu agar menjual pada orang yang membutuhkan dengan harga yang wajar. Dalam situasi seperti ini seorang pedagang yang melakukan penimbunan itu, tidak boleh melambungkan harga sekehendak hatinya. Dia harus menjual dengan harga normal23.
Salah satu perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme ialah bahwa ekonomi Islam memberikan wewenang kepada negara untuk melakukan intervensi pasar dalam kondisi tertentu. Tetapi, belakangan di Barat peranan negara dalam ekonomi mulai tampak, khususnya dalam perundang-undangan. (lihat buku kapitalisme versus Sosialisme). Pentingnya peran negara menurut paradigma Barat, setelah mendapat pengaruh dari Ekonom terkemuka, Keynes.
S.M. Yusuf dalam karya monumentalnya, Economic Justice in Islam, merumuskan etika penguasa dalam menjalankan politik ekonomi.
  1. Adalah sebuah tindakan tak bermoral dari negara, bila negara mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya untuk membuat  sebuah praktek cari untung lewat jalan monopoli dan menarik pajak secara tidak langsung dari rakyat demi memenuhi kas negara.
  2. Islam tidak memberikan ruang bagi adanya pembebanan cukai (maks), tarif yang restriktif atau kontrol tukar-menukar (exchange rate) yang liar.
  3. Negara dilarang mengambil pajak dari konsumen (seperti PPn, red) dan juga dilarang melakukan proteksi demi kepentingan produsen atas nama industrialisasi.
  4. Negara bertugas dan berkewajiban untuk menerapkan keadilan yang bebas bea, maka tidak boleh bagi negara untuk meminta bayaran pengadilan, bayaran untuk stempel dan tanda tangan atau bayaran dalam bentuk apapun dalam transaksi pelayanan dengan semua pejabat pemerintah.
  5. Jangan sampai ada segala macam pungutan. Negara dalam hal ini hendaknya hanya menarik restribusi, jika dibutuhkan dalam bentuk pajak proporsional dan progressif dari orang-orang yang mampu membayar24.

Islam mengakui kemerdekaan individu, tetapi Islam tidak menomorsatukan kekuatan pasar. Berjalannya kekuatan pasar yang buta (mutlak) tidak dengan sendirinya menghasilkan kondisi ekonomi pasar yang adil. Mekanisme pasar yang buta itu, tidak bisa menghentikan spekulasi harga, mencegah eksploitasi dan tidak menolong mereka yang lemah, baik konsumen maupun pedagang kecil.
Oleh karena itu, negara harus berperan secara aktif. Peranan positif negara ini tidak dapat disamakan dengan apa yang dikenal dengan intervensi dalam terminologi kapitalis. Terminologi intervensi, dengan konotasi negatif, mengingatkan akan komitmen layssez faire kapitalisme, yang mengandung pengertian bahwa negara yang paling baik adalah negara yang memainkan peranan negara paling kecil. Intervensi negara dengan tegas, dinilai sebagai kesewenang-wenangan. Pandangan kapitalis tersebut memang betul, jika negara ikut campur tangan demi kepentingan golongan yang berkuasa. Tetapi jika negara campur tangan untuk menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman di tengah-tengah masyarakat, seperti monopoli dan spekulasi, maka peran negara tidak saja dibolehkan, tetapi diwajibkan,.

Tawazun antara Neoliberal dan Marxisme

Dari paparan di atas, jelas, bahwa ekonomi Islam tidak mengandalkan sepenuhnya kepada kekuatan pasar seperti pada kepitalisme, begitu juga tidak sepenuhnya mengandalkan pada kekuatan paksa, seperti dalam marxisme, tetapi seimbang di antara keduanya. Di satu sisi Islam, menganut system mekanisme pasar berdasarkan hokum supply and demand, di sisi lain Islam memberikan peran kepada negara dalam masalah harga, jika terjadi distorsi harga.
Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits Rasululllah Saw sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun)  mengajarkan konsep mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :

غلا  السعر  فسعر لنا  رسول الله  صلى الله عليه و سلم :
ان الله  هو الخالق  القابض  الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم  يطلبنى  بمظلمة ظلمتها  اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)

“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”[1]

Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand.
Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible  hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah). [2]
Oleh karena harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan di pasar, maka harga barang tidak boleh ditetapkan pemerintah, karena ketentuan harga tergantung pada hukum supply and demand.
Namun demikian, ekonomi Islam masih memberikan peluang pada kondisi tertentu untuk melakukan intervensi harga (price intervention) bila para pedagang melakukan monopoli dan kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen.
Di masa Khulafaur Rasyidin, para khalifah pernah melakukan intrevensi pasar, baik pada sisi supply maupun demand. Intrevensi pasar yang dilakukan Khulafaur Rasyidin sisi supply ialah mengatur jumlah barang yang ditawarkan seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika mengimpor gandum dari Mesir untuk mengendalikan harga gandum di Madinah.

Individu sebagai khalifatullah di muka bumi, secara moral, diberi kewajiban-kewajiban untuk bisa melaksanakan peranannya benar-benar sebagai khalifah. Mekanisme pasar dengan demikian, dapat memainkan peranan lebih bermakna bagi masyarakat secara adil, tanpa ada kezaliman, baik terhadap pedagang maupun masyarakat.  Meskipun demikian, negara harus melakukan intervensi secara efektif, guna memberikan pengarahan, mengatur dan mencegah penyimpangan atas dasar kepentingan umum untuk mencapai tujuan tegaknya keadilan pasar.
Pencegahan dan penindakan perilaku zalim, seperti monopoli, spekulasi dan eksploitasi tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar atau pembinaan moral. Karena itu perlu campur tangan negara dalam mengatasinya. Bahkan tidak jarang individu secara sengaja dan terus menerus melakukan pelanggaran sementara kekuatan pasar tidak mampu mengoreksinya. Di sini, sekali lagi jelas, peranan yang  kuat dan aktif oleh negara tidak dapat dielakkan.
Prof. Dr. M. Umer Chapra menulis, “Sudah menjadi kewajiban bagi negara untuk memainkan peranan aktif dalam mewujudkan tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam, tanpa mengobarkan kepentingan individu”. Ekonomi Islam berusaha mewujudkan keseimbangan yang sehat antara kepentingan-kepentingan individu dengan kepentingan sosial.

20Muhammad Al-Mubarak, op-cit., hlm. 106
11Zianuddin Ahmad, Islam, Poverty and Income Distribution, Edisi Indonesia, Al-Qur’an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 5
12Muhammad Ibnu Sa’ad, At-Tabaqat al-Kubra, Jilid III, Beirut, Dar Sadir Lil Tiba’ah wa al-Nasshr, 1968, hlm. 305
13Abdul Aziz Sayyid Al-Ahl, Khalifah Az-Zahid Umar bin Abdul Aziz, Beirut, Darul `Ilmi al-Malayin, 1973, hlm. 222
14Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi, Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economiy, Editor, Munawar Iqbal, Islamabad, Institute on Islamic Economics, Leicester, The Islamic Foundation, 1998
3Muhammad Al-Mubarak, Nizham al-Islam Al-Iqtishadi, Beirut, Dar al-Fikri, 1972, hlm. 160
4Aswaf Ali, Political Economy of The Islamic StateUniversity of Southern, California, 1970, hlm. 280.
5Fazlur Rahman, Economic Principles of Islam, Islamic Studies, Islamabad, dalam Muhammad Nejatullah ash-Shiddiqi, Muslim Economic Thingking, A Survey of Contemporary Literature, Edisi Indonesia, Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta, LIPPM dan Media Dakwah, 1986, hlm. 45-46.
6M. Umer Chapra, Toward A Just Monetary System, Edisi Indonesia, Al-Qur’an Menuju System Moneter yang Adil, Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 6-19.
7Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi, op. cit., hlm. 46
10Penjelasan yang lebih terperinci mengenai peranan negara di zaman Nabi dalam jaminan sosial, dapat dilihat dalam buku “Economic Function of an Islamic State”, S.M. Hasanuz Zaman, Leicester, The Islamic Foundation, 1991
9Baqir Al-Sadr, Iqtishaduna, Darul Fikri, Beirut, 1968, hlm. 694
25Amim Akhtar, Kerangka Kerja Struktural Sistem Ekonomi Islam, dalam buku Etika Ekonomi Politik, RisalahGusti, 1997, hlm. 89
15Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam, Pakistan, The International Institute of Islmanic Thought, 1995, Edisi Indonesia, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 158
16Lihat Abdul Hadi, Al-Fikrah Al-Idariyah Al-Islamiyah wal Muqaranah, Kairo, Darul Fikri Al-Arabi, 1976, hlm. 179
17Abdul Qadir Husaini, Arab Administration, Lahore, Sh Muhammad Asraf, 1966, hlm. 101
18Sayid Qutub, Fi Zilalil Quran, Beirut Dar Ihya at-Turats, Al-`Arabi, 1967, hlm. 40
19S.M. Yusuf, Economic Justice in Islam, Lahore, Sh. Muhammad Asraf, 1971, hlm. 44 dan 96
21S.M. Yusuf, op.cit., hlm. 66
8I b i d.,
1Winardi, Kapitalisme Versus Sosialisme, Bandung, Remaja Karya, 1986, hlm. 38
2 M. Umer Chapra mengupas dan mengkritisi secara mendalam dan ilmiah tentang sistem kapitalisme yang telah gagal menciptakan kesejahteraan ekonomi bagi umat manusia. Lihat Islam and the Economic Challenge, International Institte of Islamic Thought, USA, 1992.
22Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa al-Awda’ Al-Iqtishadiyah, Kairo, Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1952. hlm. 137
23Ibnu Taymiyah, Al-Hisbah fil Islam, Madinah, Islamic University, t.t., hlm. 17
24S.M. Yusuf, op.cit., hlm. 67-96
[1]Ad-Darimy, Sunan Ad-Darimy, Darul Fikri Beirut , tt., hlm  78
[2] Adiwarman Karim, Kajian  Ekonomi Islam Kontemporer, TIII, Jakarta, 2003, hlm. 76

sumber link

M. Albilaluddin al-Banjari
CEO Bilal Grup, Motivator, Entrepreneur
Hp: 0858-558-321-66, 
Twitter:  @malbilaluddin1 
IG: Bilal Grup, BBM: 5281cb04, 
ID Youtobe :  M. AlbilaluddinID 
                                                                                                             Blog: bilalgrup.blogspot.com 

No comments:

Post a Comment