Pada
dasarnya manusia adalah makhluk social,yang mau tidak mau akan terus hidup
secara bersamaan antara satu dengan yang lain. Kehidupan social ini akan terus
mendorong manusia saling mengisi antara satu dengan yang lain. Keterkaitan ini
menjadi dasar seorang untuk terus berhubungan dan bertautan antara satu dengan
yang lain. Dengan hubungan inilah populasi manusia semakin hari semakin
bertambah. Semakin banyaknya populasi manusia menjadi pendorong tersendiri
untuk kemajuan dan kebaikan sebuah Negara kedepan.
Keterkaian
ini, bermacam-macam bentuk dan gayanya, banyak pepatah mengatakan, lain lubuk
laen ikannya, lain kota laen cuacanya. Begitupun dengan tradisi mempersatukan
keterkaitan antara makhluk social ini. Berbeda propensi, berbeda pula gaya dan
cara dalam menyatukan dua insan.
Di Aceh,
di Sumatra, di Riau, di Pangkalanbun, di Banjarmasin dan di tempat-tempat laen
memiliki gaya dan ciri khas tersendiri dalam tatacara menyatukan dua insan.
Perbedaan-perbedaan semacam ini menjadi ciri khas dan khasanah tersendiri dalam
melangsungkan pertalian. Menjadi keunikan dan kelebihan tersendiri untuk
tempat-tempat tersebut.
Begitupun
dengan orang-orang Madura. Orang Madura yang terkenal dengan keberanian mereka
dalam menjejakkan kakinya di tempat-tempat yang tidak pernah mereka langkahi
sebelumnya. Modal keberanian inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa orang
Madura berada di mana-mana. Kalau orang bilang “jangankan di Surabaya ada
Madura, di Mekkah aja banyak orang Madura”. Ungkapan ini menjadi ciri khas
tersendiri untuk orang Madura.
Selain
dalam hal itu, dalam tradisi penyatuan dua insanpun, Madura memiliki ciri khas
tersendiri yang mungkin tidak pernah ada di propensi manapun.
Proses
awal
Diatas telah di sebutkan bahwasanya manusia
adalah makluk social yang tidak mugkin tidak akan berorganisasi. Antara satu
orang dengan orang yang lain saling mengisi dan saling kenal.
Begitupun dengan maraknya dunia maya,
juga menjadi proses awal dalam mendapakan pasangan. Maraknya FB, Twitter, dll,
menjadi jalur tersendiri dalam kehdiupan manggalang proses perkenalan dan
penyatuan dua hal yang sebelumnya jejaring social sudah menjadi jalan kedua dalam
proses perkenalan dan penyatuan dua insan.
Dalam
tradisi orang Madura, perkenalan antara dua individu inipun juga terjadi secara
alami, toh walaupun tak sedikit dari orang-orang Madura yang menjodohkan
anak-anak mereka dengan anak-anak saudaranya. Tak sedikit dari
pembesar-pembesarnya Madura menjodohkan anak-anak mereka dengan pembesar yang
lain. Sehingga dengan hal ini, mereka bisa saling menjaga keturunan satu dengan
yang lainnya.
Bahkan
bagi golongan priyayi menjodohkan anak-anak mereka menjadi tradisi tersendiri,
dengan tujuan untuk merekatkan ikatan antara satu tampuk kepemimpinan dengan
tampuk kempemimpinan yang lain. Sehingga bukanlah menjadi hal yang aneh jika
satu madrasah atau satu pondok pesantren dengan yang lainnya memiliki kedekatan
dan hubungan tersendiri.
Proses
selanjutnya
Setelah mengenal satu dengan yang lainnya.
Baik karena bertemu sendiri atau karena memang di jodohkan oleh kedua orang tua
mereka, prosespun berlanjut pada tahap setelahnya, yakni lamaran. Yakni orang
tua calon suami mendatangi orang tua si perempuan dengan maksud dan tujuan
meminta anaknya untuk tidak di lepas pada orang lain. Atau istilah maduranya,
“epangger”, (diikat). Dengan artian orang lain udah tidak boleh lagi masuk
untuk melamar perempuan tersebut karena sudah ada yang memiliki.
Proses
semacam ini biasanya di barengi dengan membawa jajan-jajan pasaran. Yang paling
terkenal untuk jajanan ketika pertunangan ialah “tettel, dan bejid”, (tettel”,
jajanan yang terbuat dari ketan yang diolah sedemikian rupa sehingaa membentuk
jajan yang enak dan bagus dilihat, biasanya berwana putih, “bejid”, sama halnya
dengan “tettel”, hanya saja ia di campur dengan gula merah sebagai pemanisnya).
Selain
membawa jajanan, biasanya proses ini di barengi dengan beberapa keluarga calon
suami dan orang-orang yang dipercaayai orang tua calon suami untuk meminta sang
anak perempuannya. Istilah Madura yang lebih terkenal dan yang sering terdengar
kala lamaran di ucapkan oleh calon mertua atau orang yang di yakini mampu untuk
menyampaikan tujuan dari kedatangan calon mertua tersebut. “koca’en be’en andik
ajem bini” (kami dengar kamu memiliki ayam perempuan). Pelamar tersebut
mengistilahkan calon istri sebagai ayam betina.
Setelah kesepakatan di ketemukan dan orang tua
calon istri telah memberikan sinyal hijau pada calon suami, maka disanalah terjadi
resmi pertunangan. Dengan artian si perempuan sudah milik si laki-laki dan si
laki-laki itu sudah menjadi calon suami bagi si perempuan.
Proses
pertengahan
Setelah semua proses selesai
dan orang tua si perempuan telah memberikan lampu hijau dan telah di iyakan
oleh semua pihak. Maka resmilah perempuan tersebut menjadi tunangan si
laki-laki. Sehingga dengan terjadinya pertuanangan ini. Tidaklah di benarkan
bagi laki-laki lain untuk masuk meminang pada perempuan tersebut. Ini sejalan
dengan apa yang di ajarkan oleh sang baginda nabi.
Setelah mereka resmi menjadi pasangan
tunangan, maka dalam tradisi Madura sang calon suami harus memberikan baju baru
pada hari raya, atau hari-hari laen. Ini lebih di kenal dengan “agentiih
kalambeh” (mengganti baju). Begitupun kala ada acara-acara baik itu acara resmi
atau acara laen, sang calon suami harus mengambili si calon istri tersebut
untuk d ajak menonton dan menghadiri acara tersebut. Atau dalam istilah Madura
lebih di kenal dengan “ngoniih bekal” mengambili calon istri.
Keniscayaan
semacam ini jika tidak dilakukan maka akan terasa hambar. Tradisi madura
menjadikan tradisi ini menjadi sebuah pertanda kalau sang calon suami sudah
mampu untuk memberikan belanja kepada sang calon istri. Kala keniscayaan ini
tidak dilakukan, maka akan menjadi buah bibir tersendiri antara tetangga dan
akan menjadi gosip dalam perkumpulan-perkumpulan.
Selain
memberikan baju, dan menonton tontonan, tradisi mengajak maen sang calon istri
ke saudara-saudara sang calon suami, adalah hal yang sangat sakral dalam
traidisi madura. Sehingga dari semua prosesi perkawinan, prosesi mengajak
silaturrahmi ke rumah-rumah saudara sang calon suami atau ke keluarga-keluarga
yang laen juga menjadi moment yang tidak boleh di lewatkan dalam perjalan
penyatuan keluarga dalam tradisi madura.
Semua
traidisi itu, sudah mengakar kuat sejak orang tua mereka masih anak-anak. Tradisi
yang terus di pertahankan ini, semakin hari semakin menipis dan terus
mengurang. Seinring dengan berkembangnya tehnologi dan perubahan zaman yang
begitu cepat. Hanya saja tradisi ini akan terus menerus ada dan di kenang oleh
orang-orang madura.
Pada
dasarnya, tradisi mengajak nonton atau mengajak untuk silaturrahim ke keluarga
adalah tradisi yang bertentangan dengan tradisi islam. Hal ini dikarenakan
selama menjadi tunangan status mereka bukanlah suami istri namun masih ajnabi.
Sedang ajnabi(lain mahram) dalam islam haram hukumnya untuk kumpul dan
sering bersama.
Proses
teakhir
Dalam masa
pertunangan, tradisi madura memiliki ciri khas tersendiri. Mereka menunangkan
putra-putrinya selama waktu kesepakan yang disepakati ketika pertunangan awal
yang hal ini di tentukan dari sang calon suami. Tak sedikit dari orang-orang
madura yang menunangkan anak-anaknya selama 4 tahun, bahkan lebih. Hal ini
terjadi karena tak jarang dari mereka yang sudah menunangkan anak mereka
padahal sang anak masih berada di pondok pesantren atau masih melanjutkan
studynya.
Hanya saja
lumrah dari pada pertunangan tradisi madura, 3 sampai 7 bulan. Selama masa-masa
pertunangan ini, sang calon suami harus memberikan baju baru di waktu-waktu
tertentu, harus mengajaknya bermain kerumah keluarga sang calon suami, juga
mengajak sang calon istri untuk menonton acara atau hadir pada satu
perkumpulan.
Setalah
selesai proses pertunangan. Setelah bermain kerumah sang calon suami, setelah
menunggu selama satu bulan, atau lebih. Akhirnya sampai pada tujuan akhirnya,
yakni menyatukan antara dua makhluk. Pernikahan.
Tak ada perbedaan mencolok dalam
kehidupan pernikahan orang-orang Madura. Sama halnya dengan pernikahan
orang-orang dalam tradisi lain. Hanya saja perbedan yang mungkin tak ada dalam
tradisi pernikahan selain madura.
Hanya saja setelah pernikahant tradisi
Madura memiliki tradisi laen yang tak bisa ditinggalkan toh walaupun tidak
menjadi kewajiban, yakni membawa ranjang, lemari, dan tikar bagi sang suami.
Ini menjadi penanda kalau ia telah resmi menjadi suami. Semua barang-barang
tersebut di bawa oleh sang suami untuk di gunakan di rumah sang istri.
Selama beberapa bulan, sang suami
harus tinggal dirumah sang istri sebelum ia memiliki rumah sendiri. Berada di
rumah istri ini sebagai pelajaran hidup dengan mertua dan hidup dengan keluarga
dan dengan orang-orang yang belum pernah hidup serumah dan seatap.
Tradisi ini terus berlaku dan berjalan
dalam kehidupan Madura. Toh walaupun sebagaimana di jelaskan diatas, semakin
berjalannya zaman dan keadaan tradisi semacam ini sedikit deimi sedikit
terkikis. Sehingga agak terlihat jarang orang-orang Madura yang melakukan
tradisi semacam itu begitupun dengan tradisi-tradisi laen. Ini karena
perkembangan IT yang terus menggunung dan menjulang tinggi sedang pondasi kita
para masyarakat tidaklah begitu kuat, kalau tidak mau di katakana bobrok.
Setelah beberapa bulan sang suami
hidup bersama keluarga sang istri (mertua), pada saat tertentu setelah oleh
orang tua di rasa cukup, merekapun (pasangan suami istri) di buatkan rumah.
Rumah inilah awal dari keidupan mereka
yang sesungguhnya. Kehidupan mereka untuk mempersiapkan generasi-generasi
penerus untuk kemajuan Desa, Kecamatan, Kabupaten bahkan Negara mereka.
Dengan semua ini, terjadilah kehidupan
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Konklusi
dan Saran-saran
Ada
beerapa hal yang menjadi inti daripada tulisan ini:
1. Tradisi
orang Madura dalam pernikahan seperti gambaran diatas masih belum benar-benar
islami.
2.
Tak sedikit dari mereka yang juga tidak
mengindahkanperaturan-peraturan islam yang ada.
3. Dianggap
lumrahnya tradisi-tradisi yang bertentangan dengan islam, sehingga hal ini akan
membunuh karakteristik islam yang ada dalam diri individu tersebut.
Saran-saran
1. Perlunya
para ahli dan tokoh-tokoh Madura yang sedikit demi sedikit memberikan
pengaarahan akan kekeliruanyang ada.
2.
Adanya control dari pemerintah atau tokoh
dengan semua kegiatan dan perbuatan yang berkaitan dengan pernikahan,sehingga
tidak keluar dari syariat.
3.
Perlunya pemerintah untuk membuat UU tersendiri
mengenai pernikahan dan mengangkat dewan pengontrol untuk semua kegiatan
pernikahan.
4.
Perlu memberi pejelasan dan pencerahan mengenai
kehidupan rumah tangga baik dengan bangku pendidikan formal atau dengan segala
bidang dan segala lini untuk memberikan arahan yang benar mengenai pernikahan.
5.
Perlunya pemerintah untuk bisa menyadarkan diri
akan tuntunan perkawinan yang benar dan sejalan dengan agama islam.
6. Pemerintah
atau orang tua perlu memberikan pembekalan agar sang anak yang akan
melangsungkan pernikahan bisa berjalan denga baik dan benar.
Keluar
dari semua itu, indoneis memang penuh dengan tradisi dan berbagai macam
istiadad. Kekayaan ini sudah selayanya untuk di banggakan dan di perhitungkan
serta terus di expose keluar sehingga warga Negara sendiri tidak latah
ikut-ikutan tradisi luar yang menurut mereka mode gaul dan keren.
Boleh keren dan gaul, tapi tradisi dan
budaya kita sendiri jangan sampai dilupakan.
Sebagai
penutup, pendidikan menentukan karakter, karakter menentukan pola piker, pola
pikir menentukan kinerja, dan kinerja menentukan hasil. Selama karakter dan
pola pikirnya masih sama dengan yang kemaren-kemaren maka selama itu pula hasil
yang di dapat akan tetap sama dan tidak berbeda.wallahu a’lam
M. Albilaluddin al-Banjari
Presiden Mahasiswa STEI Tazkia 2014-2015
Hp: 0858-558-321-66,
Email: bilalgrups@gmail.com
Twitter: @malbilaluddin1
IG: Bilal Grup, BBM: 5281cb04,
ID Youtobe : M. AlbilaluddinID
No comments:
Post a Comment