Konsep Washatiah
Dalam Qodo
(Mata Kuliah Peradilan Qadha)
Oleh:
Teuku
Aris Munandar
M.
Shofi
M. Albilaluddin
al-Banjari
STEI TAZKIA
Periode
2014-2015
Pendahuluan
Apa itu Qadha’?
Menurut ilmu bahasa arti qadha’ antara lain:
menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan.
Makna yang terakhir inilah yang digunakan dalam konteks ini.
Sedangkan dari segi istilah ahli fiqih,
qadha’ berarti Lembaga Hukum dan perkataan yang harus dituruti yang di
ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama
atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’
disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Karena adanya berbagai pengertian dari
kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan
perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi. Menurut
para ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah memutuskan
perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.
Dengan definisi tersebut di atas dapat
dikatakan bahwa tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan
hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal
yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada.
Apa Unsur-unsur Peradilan dalam Islam?
Ada enam unsur peradilan menurut hukum
Islam, yaitu: hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi, mahkum alaihi, mahkum lahu dan
sumber hukum (putusan). Hakim (qadhi) adalah orang yang diangkat oleh kepala
negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan,
dikarenakan penguasa tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan dengan sendiri.
Nabi sendiri juga pernah mengutus beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.
Hukum ialah putusan hakim yang
ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Adakalanya hal ini dilakukan
dengan suatu perkataan dan adakalanya dengan perbuatan, misalnya pembagian
secara paksa dan menolak gugatan.
Mahkum bihi adalah sesuatu yang
diharuskan oleh qadhi untuk dipenuhi atas suatu hak. Hak itu adakalanya
dipandang sebagai hak yang murni bagi Allah atau bagi hamba. Adakalanya hak
yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah satu lebih berat. Diharuskan
hak yang merupakan mahkum bihi dikenal oleh kedua belah pihak.
Unsur berikutnya adalah mahkum alaihi
atau si terhukum, yaitu orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum alahi dalam
hukum syara’ adalah orang yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang
dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang tergugat (atau tertuduh dalam perkara
pidana) ataupun bukan. Mahkum alahi ini boleh satu orang atau lebih.
Selanjutnya adalah mahkum lahu (si
pemenang perkara), yaitu orang yang menggugat suatu hak atau menuduhkan sesuatu
dalam perkara pidana. Hak itu bisa hak murni baginya, ataupun sesuatu yang
terdapat padanya dua hak, tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah dia
mengajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak
sendiri ataupun dengan perantara wakilnya (kuasa hukumnya). Dalam persidangan,
boleh dia sendiri ataupun wakilnya yang menghadiri.
Unsur terakhir dalam peradilan adalah
sumber hukum (putusan) dalam suatu perkara. Dari keterangan-keterangan ini
jelaslah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan
oleh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang
dapat diterima. Oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan satu peristiwa
atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk ke dalam bidang ibadah, tidak
dimasukkan ke dalam bidang peradilan.
Apa itu washatiyah?
Belakangan ini, kata-kata “moderat” yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi wasathiyyah menjadi
kata-kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan
sekelompok yang lain. Kata-kata ini biasanya digunakan sebagai antonim bagi
fundamentalisme dan absolutisme. Bahkan, secara salah kaprah, wasathiyyah digunakan
untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal
dalam beragama. Sementara kelompok yang secara konsisten menjalankan ajaran
Islam dianggap sebagai tidak moderat (wasathiyyah).
Istilah wasathiyah ini biasanya digunakan
dengan menggunakan dasar dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143. Dalam
ayat itu disebutkan wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan washatan… (Dan
demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang “wasath”…).
Ayat inilah yang seringkali dieskploitasi tidak pada
tempatnya sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal, fundamentalis,
literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang memojokkan
sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kalau
ditelusuri secara saksama, kata-kata washatan dalam ayat
tersebut memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap
di atas. Tulisan ini akan menelusuri makna dari washatan dalam ayat tersebut
dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer berdasarkan penelusuran terhadap
kitab-kitab tafsir mu‘tabar.
Makna Al-Wasath
Secara bahasa, kata wasath berarti
sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib
Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa
kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah
ujung yang ukurannya sebanding.”
Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga,
berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah
untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi tempat menyimpan
hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata “tengah kota”. Kata ini
menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota. (Al-Tahrir
wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).
Sementara itu, makna wasath dalam ayat di
atas terdapat beberapa penjelasan.
Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu
sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi.
Pertama, wasath berarti
adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan
beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat
Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa
ummatan wasathan adalah umat yang adil.
Kedua, wasath berarti
pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya,
karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan
makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna
dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah
manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110).
Ketiga, wasath berarti
yang paling baik.
Keempat, wasath berarti
orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth
(berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth
(mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain.
Oleh sebab itu, Al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummat wasath yang
dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah Subhanahu Wata’ala telah
menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama
(dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan
lainnya.
Umat islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya,
paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah Subhanahu Wata’ala telah
menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân)
yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatanwasathan”,
umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia.” (Taisîr
Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân Jil. I hal. 70).
Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai makna wasath dalam
ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat wasath yang
disematkan pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam adalah sesuatu yang
melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya. Ini merupakan
karunia Allah Subhanahu Wata’ala . kepada mereka. Saat mereka konsisten
menjalankan ajaran-ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka saat itulah mereka
menjadi umat terbaik dan terpilih. Oleh sebab itu, Rasyid Ridha mengaitkan kata
ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya, yaitu “…yahdî man
yasyâ’u ilâ shirâth al-mUstadaqîm (…Dialah yang akan memberi petunjuk
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus). Bila dikaitkan
dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan moderat adalah mereka
yang diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu Wata’ala ke jalan yang lurus (Tafsîr
Al-Manâr Jil. II hal 4).
Jalan yang lurus (sirâth al-mUstadaqîm) ini,
sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, adalah jalan tengah di antara
jalan orang-orang yang dibenci (Yahudi) dan orang-orang yang sesat (Nashrani).
Aktualisasi Makna Al-Wasath
Setelah memperhatikan makna ummh al-wasath yang
berarti umat yang secara konsisten perpegang pada petunjuk Allah Subhanahu
Wata’ala . (al-shirâth al-mUstadaqîm), dapat kita fahami bahwa makna
dari wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam
Al-Quran sendiri, bukan makna yang diberi sifat baru, bukan dari Al-Quran.
Dalam hal ini, Al-Quran telah menetapkan bahwa
ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah adalah ajaran
yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara konsisten
melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama
dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Ali Muhammad Shallaby dalam Al-Wasathiyyah fî
Al-Qur’ân cukup ekstensif membahas aspek-aspekwasathiyyah dalam
berbagai ajaran Islam.
Pembahasan
Konsep Washatiyah dalam Qadha
Banyak
orang berbicara tentang wasathiyah. Namun adakah kita memahami konsep
wasathiyah dari perspektif Islam. Bagaimana Islam melihat wasathiyah itu?
Adakah wasathiyah itu bermaksud tengah-tengah, atau adakah wasathiyah itu
bermaksud sederhana, atau banyak lagi terjemahannya.
Di dalam Al-Quran, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman tentang wasathiyah,
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu
semua, umat yang ‘wasatha’ agar kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.”
(Surah Al-Baqarah, 2: 143)
Para
ulama membahas pengertian wasathiyah dalam ayat ini. Antaranya mereka mengambil
manfaat dari tafsiran Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri terhadap
wasathiyah. Apabila Nabi menerjemahkan perkataan “wasatha”, sabda Baginda di
dalam hadis riwayat Al-Bukhari mengatakan bahwa “wasath itu adalah adil”.
Apabila
Nabi mengatakan bahawa wasathiyah itu maksudnya adil, para ahli ilmu
membahaskan apa yang dimaksudkan dengan adil.
Adil mempunyai banyak makna, diantaranya,
“Memberikan hak kepada orang yang berhak.”
Rakyat
Indonesia ada haknya, maka kita tunaikan hak mereka. Rakyat Cina dan rakyat
India ada hak mereka, maka kita tunaikan hak mereka. Orang Islam ada haknya,
kita tunaikan hak orang Islam. Rakyat ada hak, kita tunaikan hak rakyat.
Pemimpin juga ada haknya, maka kita tunaikan hak pemimpin itu. Maka itu yang
dinamakan adil.
Maksud adil yang lain menurut para ulama,
“Meletakkan sesuatu kena pada tempatnya.”
Kita
ambil contoh mudah, kalau kita beli baju untuk anak lelaki, gak mungkin kita
beli baju persis sama untuk anak perempuan. Kalau kita belikan kopiah untuk
anak lelaki, gak mungkin kita belikan yang sama untuk anak perempuan. Itu tidak
adil, itu zalim sebab kita tidak meletakkan sesuatu kena pada tempatnya.
Sebab
itu adil tidak boleh diterjemah sebagai sama rata, saksama, atau sama banyak.
Jadi apabila dikatakan wasathiyah, Nabi mengatakan adalah adil, yaitu
memberikan hak kepada orang yang berhak ataupun meletakkan sesuatu kena pada
tempatnya.
Maka
apabila kita menunaikan hak kepada orang yang berhak dan meletakkan sesuatu
pada tempatnya, para ulama mengatakan bahwa pada ketika itu tindakan kita
adalah tindakan yang baik dan terpilih.
Dari Akidah sampai Poligami
Shallaby ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang
murni dan bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah adalah ajaran yang memang layak
disebut wasath dengan berbagai pengertiannya.
Mengambil salah satu bahasan Shallaby dalam penelitiannya
itu, kita ambil contoh mengenai masalah poligami yang sering menjadi sasaran
tuduhan ketidakadilan ajaran Islam. Dalam kesan yang muncul dari mereka yang
mendapuk diri sebagai Muslim yang berpandangan moderat, poligami justru
dianggap sebagai sesuatu yang semestinya “diharamkan” karena dianggap tidak
adil kepada wanita.
Pandangan seperti ini jelas sudah bertentangan dengan ijmâ’ para
ulama mujtahidîn sejak empat abad lalu yang bersepakat akan
kehalalan poligami.
Kehalalan poligami dalam Islam yang disepakati para ulama
itu justru memperlihatkan bagaimana Islam telah berlaku adil, moderat, dan wasath bila
dibandingkan dengan ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan lain yang
berkembang di dunia hingga saat ini.
Dalam kepercayaan dan tradisi besar dunia terdapat dua
ekstrim yang sama-sama berlebihan. Ekstrim pertama membolehkan laki-laki
menikahi banyak wanita tanpa batas. Wanita diletakkan hanya sebagai hamba dan
pemuas bagi laki-laki. Ketentuan ini dikenal dalam tradisi China Kuno, India
Kuno, Persia Kuno, Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah. Dalam beberapa
tradisi seperti China Kuno dan India Kuno, bahkan ada kepercayaan bahwa
perempuan yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri untuk menyatakan
penghambaannya kepada laki-laki yang dinikahi. Dalam hal ini jelas sekali,
posisi wanita menjadi sangat terhina. Tidak ada penghormatan sama sekali atas mereka.
Sementara itu, pada titik ekstrim yang lain akan ditemukan
aturan dalam agama Kristen yang telah dipengaruhi kepercayaan Pagan masyakarat
Eropa yang mengharamkan sama sekali laki-laki menikahi lebih dari satu istri.
Pada titik ekstrim ini, kelihatannya ada pemihakan yang
adil terhadap wanita. Akan tetapi jutsru di sinilah permasalahan bermula.
Dalam ketentuan Islam poligami dibolehkan namun bukan
tanpa aturan. Ia diperbolehkan hanya maksimal dengan empat wanita. Selain itu,
dipersyaratkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil. Bila
dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka laki-laki sebaiknya cukup
mengambil satu istri atau budaknya. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 3).
Ketentuan Islam ini adalah ketentuan yang moderat
dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas. Apabila ketentuan poligami tidak
dibatasi seperti yang terjadi dalam berbagai tradisi, posisi perempuan menjadi
sangat termarjinalkan dan terhinakan. Dampak sosial dari sana sungguh sangat
besar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah poligami tanpa aturan yang
terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarahnya. Lebih dari itu,
mengambil istri dalam jumlah yang sangat banyak pasti akan membuat laki-laki
tidak akan memenuhi hak-hak semua istrinya secara adil.
Sementara apabila poligami diharamkan akan banyak
persoalan-persoalan mendesak yang tidak bisa diatasi kecuali dengan cara-cara
poligami. Misalnya ada laki-laki yang secara fisik dan finansial mampu dan
butuh terhadap poligami karena berbagai alasan. Seandainya tidak ada kelonggaran
poligami, maka masalah seperti ini tidak akan terselesaikan. Sangat mungkin
inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik perzinahan
terselubung. Fenomena pejabat yang punya istri simpanan, perselingkuhan,
pelacuran, kawin kontrak, dan semisalnya adalah salah efek yang tidak bisa
dihindarkan dari tidak diperbolehkannya laki-laki berpoligami.
Dalam Islam, apabila kebutuhan memang mendesak, maka
poligami diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Akan tetapi, Islam
amat menyadari bahwa tidak setiap laki-laki siap dan butuh istri lebih dari
satu. Oleh sebab itu, dalam kasus ini, tidak ada celaan bagi mereka untuk hanya
mengambil satu istri saja. Di sinilah letak keadilan dan wasathiyyah-nya
ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran lain. (Al-Wasathiyyah fî
Al-Qur’ân, hal. 512-525).
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan contoh singkat di atas, kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa bertindak moderat (wasathiyah) sesuai
dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah
(petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala melalui
Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Semakin kita taat
dan tunduk pada ajaran Allah Subhanahu Wata’ala ., maka kita sebetulnya semakin
moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah membawa karakternya yang moderat
sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang moderat ini secara
konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagai ummatan washathan (umat
moderat). Wallâhu A’lam.
M. Albilaluddin al-Banjari
Presiden Mahasiswa STEI Tazkia 2014-2015
Hp: 0858-558-321-66,
Email: bilalgrups@gmail.com
Twitter: @malbilaluddin1
IG: Bilal Grup, BBM: 5281cb04,
ID Youtobe : M. AlbilaluddinID
No comments:
Post a Comment